Abdul Wahab Hasbullah
Rencana ini ialah terjemahan daripada bahasa Indonesia. Terjemahan ini mungkin telah dihasilkan oleh komputer atau penterjemah tanpa kemahiran dalam bahasa lain. |
Abdul Wahab Hasbullah | |
---|---|
Peribadi | |
Kelahiran | |
Kematian | 29 Disember 1971 | (umur 82)
Agama | Islam |
Warganegara | Indonesia |
Bandar kediaman | Jombang |
ParentRalat ungkapan: Aksara tanda baca "[" tidak dikenali |
|
Mazhab akidah | Sunni |
Pertubuhan | |
Pengasas kepada | Nahdlatul Ulama |
Pemimpin Islam | |
Guru | - Mahfudz at-Tarmisy - Mukhtarom - Ahmad Khatib - Bakir - Asy’ari -Abdul Karim ad-Daghestany - Abdul Hamid - Umar Bejened |
K.H. Abdul Wahab Hasbullah (31 Mac 1888 - 29 Disember 1971) adalah salah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama yang berpandangan moden dan diplomatis, serta kiai asal Pondok Pesantren Bahrum Ulum Tambakberas, Jombang. Beliau juga pengarang lagu Yahlal Watan yang kerap dinyanyikan oleh warga NU. Beliau diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada 7 November 2014[1].
Riwayat Hidup dan Keluarga
[sunting | sunting sumber]Pemikiran-pemikirannya selalu dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan solusi dalam menyelesaikan berbagai macam persoalan, baik persoalan keagamaan maupun kebangsaan. Pengalaman hidupnya di tiga zaman telah membentuk pribadi yang arif dan bijaksana. Beliau dilahirkan pada bulan Mac 1888 M. dari pasangan Kyai Chasbullah dan Nyai Lathifah di Tambakberas Jombang. Keluarga Chasbullah, pengasuh pondok Tambakberas ini masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan ulama paling masyhur di awal abad ke-20 yang juga berasal dari Jombang, yaitu KH Hasyim Asy’ari.
Silsilah Nasab
[sunting | sunting sumber]Nasab KH Hasyim Asy’ari dan Kyai Chasbullah bertemu dalam satu keturunan dengan KH. Abdussalam. Jika diurut ke atas, nasab keluarga ini akan bermuara pada Lembu Peteng, salah seorang raja di Majapahit.
Wafat
[sunting | sunting sumber]Sebelum wafat, KH. Wahab Chasbullah masih sempat menghadiri Muktamar NU ke-25 di Surabaya dan terpilih sebagai Ro’is ‘Am PBNU. Beliau juga masih dapat memberikan suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971. Menurutnya, menghadiri Muktamar NU dan memberikan suara pada pemilu adalah bagian dari salah satu perjuangan, karena perjuangan adalah bagian dari ibadah yang harus dilaksanakan. Namun, empat hari setelah Muktamar NU di Surabaya, kyai yang banyak berjasa terhadap bangsa ini dipanggil kehadirat Allah swt. Beliau wafat pada 29 Disember 1971 di kediamannya yang sederhana di kompleks pesantren Tambakberas, Jombang.
Pendidikan
[sunting | sunting sumber]Sejak kecil, beliau diajar langsung oleh ayahnya. Beliau belajar pendidikan agama, seperti membaca al-Qur’an, tasawuf, dan lain-lain. Setelah dianggap mencukupi, KH. Wahab berkelana ke pelbagai pesantren untuk belajar, antaranya di Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Pesantren Mojosari-Nganjuk di bawah bimbingan Kyai Sholeh, Pesantren Tawangsari-Surabaya, dan Pesantren Bangkalan-Madura di bawah bimbingan langsung KH Cholil Bangkalan yang terkenal itu. Oleh Kyai Kholil, Kyai Wahab disuruh belajar di Pesantren Tebuireng, Jombang. Di pelbagai pesantren ini, KH. Wahab mendapatkan ilmu dan pengalaman. Beliau mempelajari kitab-kitab agama penting hingga mahir.
Pada usia 27 tahun, KH. Wahab melanjutkan pendidikannya ke Makkah. Di kota suci itu, beliau belajar dari ulama-ulama terkenal seperti KH. Machfudz Termas, KH. Muhtarom Banyumas, Syekh Ahmad Chotib Minangkabau, KH. Bakir Yogyakarta, KH. Asya’ri Bawean, Syekh Said al-Yamani, dan Syekh Umar Bajened. Semua ini melengkapi wawasan sosial dan pengetahuan agama KH. Wahab. Dengan riwayat pendidikannya yang begitu luas, tidak mengherankan jika di kalangan ulama dan pejuang sebaya, KH. Wahab dianggap paling menonjol dalam hal pemikiran dan pengetahuannya. Seperti kebiasaan hidup di pesantren, KH. Wahab hidup dengan sangat sederhana. Untuk menyara keluarganya, beliau berdagang apa pun yang halal. Beliau pernah berdagang nila dan menjadi perwakilan sebuah biro perjalanan haji. Karena berbagai usaha yang dijalankannya, beliau mempercayakan pengelolaan usahanya kepada orang lain dengan sistem bagi hasil. KH. Wahab selalu digambarkan sebagai orang yang bersemangat, ramah, dan berwibawa.
Silsilah Keilmuan
[sunting | sunting sumber]- Syekh Mahfudz At-Tarmasi
- KH. Muhtarom Banyumas
- Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
- KH Bakir Yogyakarta
- KH Asya’ri Bawean
- Syekh Said al-Yamani
- Syekh Umar Bajened
Jasa dan Karya Beliau
[sunting | sunting sumber]Pendirian NU
[sunting | sunting sumber]Aura kelembutan dan kasih sayang terpancar dari wajahnya. Selain murah hati, kyai ini sulit untuk marah dan membenci. "Meskipun kecil, dia selalu terlihat gagah," kata salah satu pengagumnya, KH Saifuddin Zuhri. KH. Saifuddin Zuhri juga menyatakan bahwa KH. Wahab adalah seorang ulama yang berpengetahuan luas, tidak terbatas pada bidang agama saja. Mereka yang dekat dengannya tidak pernah bosan mendengarkan kata-katanya yang selalu baru dan mengandung nilai-nilai kebenaran. KH. Wahab tidak termasuk dalam kategori ulama "klise". Sikap dan perkataannya selalu orisinal, berasal dari pengetahuan dan pengalaman yang luas. Dia tidak pernah merasa canggung berbicara di depan ribuan orang. Dia tidak bangga berbicara di depan banyak orang, begitu juga tidak pernah kecewa jika hanya sedikit yang mendengarkan. Selain kecerdasannya, gaya penyampaiannya menarik sehingga kata-katanya dapat didengar dan dimengerti dengan baik tanpa membosankan.
Bagi warga NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia, KH. Wahab bukan hanya tokoh dan pendiri, tetapi juga simbol penyatuan, dan menariknya juga tradisi intelektualnya di kalangan ulama pesantren. Dikatakan bahwa KH. Wahab mendirikan, menjaga, dan membesarkan NU dengan pengetahuannya, kemudian dengan harta dan tenaganya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika orang menyebut KH. Wahab sebagai jiwa sekaligus motor penggerak NU, mulai dari NU yang kecil dan tidak diperhitungkan hingga menjadi jam’iyah Islam terbesar di Indonesia. Sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan sosok KH. Wahab Chasbullah.
Menggunakan istilah KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Wahab disebut sebagai "kyai merdeka". Sepanjang sejarah perjuangannya, kyai dari Jombang ini memang memiliki jiwa bebas, berdiri sendiri, tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. "Bukan pengikut", kata KH. Saifuddin Zuhri. Bahkan dalam cara berbicara, berjalan, dan berpakaian, dia tidak meniru orang lain. Kyai unik ini selalu mengenakan sorban. Suatu kali, saat KH. Wahab berbicara dalam sidang parlemen sebelum naik ke podium, dia membetulkan letak sorban. Ada yang bertanya, "Kenapa memakai sorban?". Sambil menunjuk sorbannya, KH. Wahab dengan tegas menjawab, "Ini sorban pangeran Diponegoro!, beliau, Kiai Mojo, Imam Bonjol, Teuku Umar semuanya pakai sorban".
Mendengar jawabannya, semua peserta sidang tertawa, membuat ruangan sidang dipenuhi tawa. Prestasi-Prestasi KH. Wahab Chasbullah sangat banyak. Seperti mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar pada tahun 1914, mendirikan pergerakan Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan bersama KH. Mas Mansur, memprakarsai pembentukan Komite Hijaz, dan memprakarsai berdirinya NU. Di bidang jurnalistik, dia merintis majalah Suara Nahdhatul Ulama yang terbit setengah bulan sekali. Menurutnya, dengan majalah, gagasan-gagasan NU dapat tersebar secara lebih efektif dan efisien.
Pendirian GP Ansor
[sunting | sunting sumber]Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Bermula dari perbezaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul dalam tubuh Nahdlatul Wathan, sebuah organisasi keagamaan yang bergerak dalam pendidikan Islam, pembinaan mubaligh, dan pembinaan kader. KH. Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional, dan KH. Mas Mansyur, yang berhaluan modernis, akhirnya mengambil arah gerakan yang berbeza pada saat semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam sedang berkobar. Dua tahun setelah perpecahan itu, pada tahun 1924, para pemuda yang mendukung KH. Abdul Wahab Hasbullah – yang kemudian menjadi pendiri NU – membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).
Organisasi ini menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).
Nama "Ansor" ini merupakan saran dari KH. Abdul Wahab Hasbullah, seorang ulama besar serta guru besar kaum muda pada masa itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian, ANO dimaksudkan untuk mengambil hikmah serta teladan dari sikap, perilaku, dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang diberi predikat "Ansor". Gerakan ANO harus selalu merujuk kepada nilai-nilai dasar sahabat Ansor, yaitu sebagai penolong, pejuang, dan bahkan pelopor dalam menyebarkan, menegakkan, dan mempertahankan ajaran Islam.
Walaupun ANO diakui sebagai bagian dari NU, secara formal organisasi tersebut belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU. Masuknya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU berkat perjuangan para kiai muda seperti KH. Machfudz Siddiq, KH. A. Wahid Hasyim, Kyai Saleh Lateng, KH. Dachlan.
Pejuang Kemerdekaan
[sunting | sunting sumber]Sebelumnya, gagasan NU hanya dijalankan melalui dakwah dari panggung ke panggung dan pengajaran di pesantren. Beliau juga membeli gedung di Jalan Sasak 23 Surabaya sebagai pusat aktivitas NU. Berangkat dari gagasan ini, kemudian muncul majalah-majalah lain, seperti Suluh Nahdlatul Ulama yang dipimpin oleh Umar Burhan, Terompet Ansor yang dipimpin oleh Tamyiz Khudlory, dan majalah Penggugah yang berbahasa Jawa yang dipimpin oleh K. Raden Iskandar yang kemudian digantikan oleh Saifuddin Zuhri. Dari tradisi jurnalistik ini, NU memiliki jurnalis-jurnalis ternama seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri, dan Mahbub Junaidi. KH. Wahab juga dikenal sebagai pengatur strategi perjuangan yang baik dalam politik Islam. Beberapa prestasinya adalah pembentukan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia), dan Masyumi.
Melalui pergerakan ini, KH. Wahab terlibat dengan tokoh-tokoh terkemuka, seperti K. Mas Mansur, Dr. Sukiman, Abikusno Cokrosuyoso, Mr. Sartono, Sukarjo Wiryopranoto, Amir Syarifuddin, dan lain-lain. Tidak diragukan lagi, KH. Wahab memiliki andil besar dalam meletakkan dasar-dasar organisasi NU. Hampir di semua sektor, dia menggagas ide-ide cemerlang untuk perkembangan NU, mulai dari tradisi intelektual, jurnalistik, hingga struktur organisasi NU. Karena prinsipnya, "jika kita ingin kuat, kita harus memiliki kekuatan." Artinya, untuk menjadi besar, seseorang harus memiliki kekuatan, baik kekuatan politik, militer, maupun batin. Selain prestasi-prestasi di atas, KH. Wahab juga aktif dalam gerakan melawan penjajah untuk membebaskan negara ini, seperti dalam Laskar Hizbullah yang dipimpin oleh KH. Zainal Arifin, Laskar Sabilillah yang dipimpin oleh Laskar Sabilillah yang dipimpin oleh KH. Masykur dan Barisan Kyai yang dipimpin oleh beliau sendiri untuk berperang melawan penjajah.
Komite Hijaz sebagai Benteng Islam Aswaja
[sunting | sunting sumber]Prestasi gemilang lainnya adalah keberhasilannya memperjuangkan kepentingan kaum Sunni untuk mendapat perlindungan dan kebebasan di negara Arab Saudi dalam Kongres Dunia Islam di Mekkah. Pada masa itu, Raja Saud Arab Saudi melarang perkembangan pemikiran Sunni di negaranya. Namun, atas usulan KH. Wahab bersama tokoh-tokoh Islam yang tergabung dalam Komite Hijaz, seperti KH Bisri Syansuri, K. Ridwan Semarang, KH Raden Asnawi Kudus, K. Nawawi Pasuruan, K. Nachrowi Malang, dan K. Alwi Abdul Aziz Surabaya, akhirnya Raja Saud memperbolehkan pemikiran Sunni hidup dan berkembang di Mekkah.
Dalam khutbah iftitah terakhir sebagai Rois ‘Am, KH. Wahab berharap agar NU tetap menemukan arahnya dengan selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan cara yang sesuai dengan akhlak Ahlussunnah wal-Jama'ah. Beliau juga mengingatkan agar kaum Nahdliyin kembali pada semangat Nahdlatul Ulama tahun 1926 atau yang lebih dikenal dengan khittah NU 1926.