Pergi ke kandungan

Pacu jalur

Daripada Wikipedia, ensiklopedia bebas.

Pacu jalur merupakan suatu sukan lumba melibatkan pendayungan perahu kayu panjang (jalur) dalam kalangan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi di Sungai Batang Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bahagian hulu dan Kecamatan Cerenti di hilir dalam kawasan provinsi Riau, Indonesia.

Setiap tahun sekitar tanggal 23-26 Ogos, suatu festival perlumbaan ini diadakan iaitu Festival Pacu Jalur sebagai sebuah acara budaya masyarakat tradisional ,Riau bersamaan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.[1] Kegiatan sukan ini merupakan pesta rakyat yang terbilang sangat meriah. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Pacu Jalur merupakan kemuncak dari seluruh kegiatan, segala upaya, dan segala keringat yang dikeluarkan seisi kampung untuk menyara hidup selama setahun. Masyarakat Kuantan Singingi dan sekitamya tumpah ruah menyaksikan acara yang ditunggu-tunggu ini.[2]

Sejarah Pacu Jalur berawal abad ke-17, di mana jalur merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, yakni daerah di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bahagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir. Saat itu memang belum berkembang transportasi darat. Akibatnya jalur itu benar-benar digunakan sebagai alat angkut penting bagi warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut sekitar 40-60 orang.

Pada awalnya, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu. Baru pada 100 tahun kemudian, warga melihat sisi lain yang membuat keberadaan jalur itu menjadi semakin menarik, yakni dengan digelarnya acara perlumbaan antar jalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama Pacu Jalur.[3]

Pada awalnya, pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam. Dapat digambarkan saat hari berlangsungnya Pacu Jalur, kota Jalur bagaikan lautan manusia. Terjadi kemacetan lalu lintas di mana-mana, dan masyarakat yang ada diperantauan akan terlihat lagi, mereka akan kembali hanya untuk menyaksikan acara ini. Biasanya jalur yang mengikuti perlumbaan, bisa mencapai lebih dari 100.

Pada masa penjajahan Belanda. pacu jalur diadakan untuk memeriahkan perayaan adat, kenduri rakyat dan untuk memperingati hari kelahiran Ratu Belanda wihelmina yang jatuh pada tanggal 31 Ogos. Kegiatan pacu jalur pada zaman Belanda di mulai pada tanggal 31 Ogos, 1 atau 2 September. Perayaan pacu jalur tersebut dilombakan selama 2-3 hari, tergantung pada jumlah jalur yang ikut pacu.[3] Seiring perkembangan zaman, akhirnya Pacu Jalur diadakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia kerana jatuhnya pada bulan sama.

Persiapan

[sunting | sunting sumber]

Membina jalur

[sunting | sunting sumber]

Jalur adalah perahu utama yang digunakan untuk acara perlumbaan ini. Panjang perahu-perahu ini bisa mencapai 25 hingga 40 meter dan lebar bahagian tengah kira-kira 1,3 m s/d 1,5 meter; setiap "jalur" dapat mendukungseramai 40-45 orang pendayung ("anak pacu"), malah juga boleh mencapai 60 hingga 80 orang.[3] Ia dibuat dari batang kayu utuh tanpa dibelah-belah, dipotong-potong atau disambung-sambung.

Jenis kayu yang dipilih adalah kayu banio, kulim kuyiang atau yang lain, harus lurus panjangnya sekitar 25-30 meter dan suatu garis tengah dikirakan antara 1-2 meter. Masyarakat setempat juga percaya bahawa sesebuah batang pokok yang diingini untuk membina "jalur" ini mempunyai "mambang" yang mana pawang akan membantu sebagai perantara penting, kayu yang dipilih akan dibuatkah upacara semah agar kayu itu tidak "hilang" secara ghaib; hal ini yang menjadikan pembuatan "jalur" ini memakan masa yang cukup panjang.[4]

Jalur-jalur ini sering diberi ukiran indah seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bahagian lambung mahupun selembayung-nya, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat jurumudi berdiri).[3] Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan pengenalan diri puak atau pasukan diwakili.

Perlumbaan

[sunting | sunting sumber]

Laluan perlumbaan

[sunting | sunting sumber]

Kawasan yang ditentukan sebagai tempat perlumbaan pacu jalur mengikuti aliran Sungai Batang Kuantan, dengan panjang lintasan sekitar 1 km yang ditandai dengan enam tiang pancang.[5]

Penilaian

[sunting | sunting sumber]

Perlumbaan Pacu Jalur Taluk Kuantan memakai penilaian sistem gugur. Sehingga peserta yang kalah tidak boleh turut bermain kembali. Sedangkan para pemenangnya akan diadu kembali untuk mendapatkan pemenang utama. Selain itu juga menggunakan sistem setengah kompetisi. Di mana setiap regu akan bermain beberapa kali, dan regu yang selalu menang hingga perlumbaan terakhir akan menjadi juaranya. Perlumbaan meriah ini dimulai dengan tanda yang cukup unik, yaitu dengan membunyikan meriam sebanyak tiga kali. Meriam ini digunakan karena bila memakai peluit, suara peluit tidak akan terdengar oleh peserta lomba. Karena luasnya arena pacu dan riuh penonton yang menyaksikan perlumbaan.[1]

Pada dentuman pertama jalur-jalur yang telah ditentukan urutannya akan berjejer di garis start dengan anggota setiap regu telah berada di dalam jalur. Pada dentuman kedua, mereka akan berada dalam posisi siap (berjaga-jaga) untuk mengayuh dayung. Setelah wasit membunyikan meriam untuk yang ketiga kalinya, maka setiap regu akan bergegas mendayung melalui jalur lintasan yang telah ditentukan. Sebagai catatan, ukuran dan kapasitas jalur serta jumlah peserta pacu dalam lomba ini tidak dipersoalkan, karena ada anggapan bahwa penentu kemenangan sebuah jalur lebih banyak ditentukan dari kekuatan magis yang ada pada kayu yang dijadikan jalur dan kekuatan kesaktian sang pawang dalam "mengendalikan" jalur.[5]

Selain perlumbaan, dalam pesta rakyat ini juga terdapat rangkaian tontonan lainnya, di antaranya Pekan Raya, Pertunjukan Sanggar Tari, pementasan lagu daerah, Randai Kuantan Singingi, dan pementasan kesenian tradisional lainnya dari kabupaten atau kota di Riau.[2] Ia merupakan hasil budaya dan karya seni khas yang merupakan perpaduan antara unsur olahraga, seni, dan olah batin sehingga selalu diiringi oleh ritual-ritual magis.